Dampak Revolusi Hijau dan Industrialisasi terhadap Perubahan Sosial Ekonomi di Pedesaan dan Perkotaan pada Masa Orde Baru
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam sektor pertanian
di Indonesia tidak lepas dari perkembangan sektor industri pertanian itu
sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian di dunia
ditandai dengan munculnya Revolusi Hijau.
1. Revolusi
Hijau
Munculnya beberapa teknik pertanian pada abad ke-17 dan abad ke-18 dapat
dilacak dari jenis tanaman baru dan beberapa perubahan ekonomi. Pada masa
sekarang ini di negara yang maju dan sedang berkembang terjadi perbedaan makin
besar dalam taraf hidup masyarakatnya. Hal ini disebabkan perbedaan antara
efisiensi teknologi pertanian dan kenaikan jumlah penduduk.
Perubahan-perubahan di bidang pertanian sebenarnya telah berkali-kali
terjadi dalam sejarah kehidupan manusia yang biasa dikenal dengan istilah
revolusi. Perubahan dalam bidang pertanian itu dapat berupa peralatan pertanian, perubahan rotasi tanaman, dan perubahan sistem pengairan. Usaha ini ada
yang cepat dan lambat. Usaha yang cepat inilah disebut revolusi, yaitu
perubahan secara cepat menyangkut masalah pembaruan teknologi pertanian dan
peningkatan produksi pertanian, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Revolusi Hijau merupakan bagian dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam
sistem pertanian pada abad sekarang ini.
Revolusi Hijau pada dasarnya adalah suatu perubahan cara bercocok tanam
dari cara tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau ditandai dengan makin
berkurangnya ketergantungan petani pada cuaca dan alam, digantikan dengan peran
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya meningkatkan produksi pangan.
Revolusi Hijau sering disebut juga Revolusi Agraria. Pengertian agraria
meliputi bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan.
Lahirnya Revolusi Hijau melalui proses panjang dan akhirnya meluas ke
wilayah Asia dan Afrika. Revolusi Hijau mulai mendapat perhatian setelah Thomas
Robert Malthus (1766–1834) mulai melakukan penelitian dan memaparkan hasilnya.
Malthus menyatakan bahwa kemiskinan adalah masalah yang tidak bisa dihindari
oleh manusia. Kemiskinan terjadi karena pertumbuhan penduduk dan peningkatan
produksi pangan yang tidak seimbang. Pertumbuhan penduduk lebih cepat
dibandingkan dengan peningkatan hasil pertanian (pangan). Malthus berpendapat
bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, 31, 64, dan seterusnya), sedangkan hasil pertanian mengikuti
deret hitung (1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, dan seterusnya). Hasil penelitian
Malthus itu menimbulkan kegemparan di Eropa dan Amerika.
Akibatnya, muncul berbagai gerakan pengendalian pertumbuhan penduduk dan
usaha penelitian pencarian bibit unggul dalam bidang pertanian. Revolusi Hijau
menjadi proyek penelitian untuk meningkatkan produksi pangan di berbagai negara
di dunia. Sejumlah varietas padi-padian baru yang unggul, khususnya gandum,
padi, dan jagung dikembangkan dalam upaya melipatgandakan hasil pertanian.
Pelaksanaan penelitian pertanian disponsori oleh lembaga Ford and Rockefeller
Foundation. Penelitian itu dilakukan di negara Meksiko, Filipina, India, dan
Pakistan. Di Meksiko pada tahun 1944 didirikan sebuah pusat penelitian benih
jagung dan gandum. Pusat penelitian ini mendapat bimbingan langsung dari
Rockefeller Foundation. Hanya dalam beberapa tahun, para peneliti di lembaga
tersebut berhasil menemukan beberapa varietas baru yang hasilnya jauh di atas
rata-rata hasil varietas lokal Meksiko.
Diilhami oleh kesuksesan hasil penelitian di Meksiko, pada tahun 1962 Rockefeller
Foundation bekerja sama dengan Ford Foundation mendirikan sebuah badan
penelitian untuk tanaman padi di Filipina. Badan penelitian ini dinamakan
International Rice Research Institute (IRRI) yang bertempat di Los Banos,
Filipina. Pusat penelitian ini ternyata juga menghasilkan suatu varietas padi
baru yang hasilnya jauh melebihi rata-rata hasil varietas lokal di Asia.
Varietas baru tersebut merupakan hasil persilangan genetik antara varietas
padi kerdil dari Taiwan yang bernama Dee-Geowoogen dan varietas padi jangkung
dari Indonesia yang bernama Peta. Hasil dari persilangan tersebut diberi nama
IR 8-288-3 atau biasa dikenal dengan IR-8 dan di Indonesia dikenal dengan
sebutan padi PB-8. Setelah penemuan padi PB-8, disusul oleh penemuan
varietas-varietas baru yang lain. Jenis-jenis bibit dari IRRI ini di Indonesia
disebut padi unggul baru (PUB). Pada tahun 1966, IR-8 mulai disebarkan ke Asia
diikuti oleh penyebaran IR-5 pada tahun 1967. Pada tahun 1968 di India,
Pakistan, Sri Lanka, Filipina, Malaysia, Taiwan, Vietnam, dan Indonesia telah
dilaksanakan penanaman padi jenis IR atau PUB secara luas di masyarakat. Pada
tahun 1976 areal sawah di Asia yang ditanami PUB sudah mencapai 24 juta hektar.
Revolusi Hijau adalah proses keberhasilan para teknologi pertanian dalam
melakukan persilangan (breeding) antarjenis tanaman tertentu sehingga
menghasilkan jenis tanaman unggul untuk meningkatkan produksi bahan pangan.
Jenis tanaman unggul itu mempunyai ciri berumur pendek, memberikan hasil
produksi berlipat ganda (dibandingkan dengan jenis tradisional) dan mudah
beradaptasi dalam lingkungan apapun, asal memenuhi syarat, antara lain:
a. tersedia cukup air;
b. pemupukan teratur;
c. tersedia bahan kimia pemberantas hama dan penyakit;
d. tersedia bahan kimia pemberantas rerumputan pengganggu.
Revolusi Hijau dapat memberikan keuntungan bagi kehidupan umat manusia,
tetapi juga memberikan dampak negatif bagi kehidupan umat manusia.
Keuntungan Revolusi Hijau bagi
umat manusia, antara lain sebagai berikut
a. Revolusi Hijau menyebabkan munculnya tanaman jenis unggul berumur pendek
sehingga intensitas penanaman per tahun menjadi bertambah (dari satu kali
menjadi dua kali atau tiga kali per dua tahun). Akibatnya, tenaga kerja yang
dibutuhkan lebih banyak. Demikian juga keharusan pemupukan, pemberantasan hama
dan penyakit akan menambah kebutuhan tenaga kerja.
b. Revolusi Hijau dapat meningkatkan pendapatan petani. Dengan paket
teknologi, biaya produksi memang bertambah. Namun, tingkat produksi yang
dihasilkannya akan memberikan sisa keuntungan jauh lebih besar daripada usaha
pertanian tradisional.
c. Revolusi Hijau dapat merangsang kesadaran petani dan masyarakat pada
umumnya akan pentingnya teknologi. Dalam hal ini, terkandung pandangan atau
harapan bahwa dengan masuknya petani ke dalam arus utama kehidupan ekonomi,
petani, dan masyarakat pada umumnya akan menjadi sejahtera.
d. Revolusi Hijau merangsang dinamika ekonomi masyarakat karena dengan
hasil melimpah akan melahirkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat pula di
masyarakat. Hal ini sudah terjadi di beberapa negara, misalnya di Indonesia.
Revolusi Hijau di Indonesia diformulasikan dalam konsep ‘Pancausaha Tani’
yaitu:
a. pemilihan dan penggunaan bibit unggul atau varitas unggul;
b. pemupukan yang teratur;
c. pengairan yang cukup;
d. pemberantasan hama secara intensif;
e. teknik penanaman yang lebih teratur.
Untuk meningkatkan produksi pangan dan produksi pertanian umumnya dilakukan
dengan empat usaha pokok, yaitu sebagai berikut.
a. Intensifikasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dengan
menerapkan pancausaha tani.
b. Ekstensifikasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dengan
membuka lahan baru termasuk usaha penangkapan ikan dan penanaman rumput untuk
makanan ternak.
c. Diversifikasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dengan
keanekaragaman usaha tani.
d. Rehabilitasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dengan
pemulihan kemampuan daya produkstivitas sumber daya pertanian yang sudah
kritis.
Dampak negatif munculnya Revolusi
Hijau bagi para petani Indonesia, antara lain sebagai berikut.
a. Sistem bagi hasil mengalami perubahan. Sistem panen secara bersama-sama
pada masa sebelumnya mulai digeser oleh sistem upah. Pembeli memborong seluruh
hasil dan biasanya menggunakan sedikit tenaga kerja. Akibatnya, kesempatan
kerja di pedesaan menjadi berkurang.
b. Pengaruh ekonomi uang di dalam berbagai hubungan sosial di daerah
pedesaan makin kuat.
c. Ketergantungan pada pupuk kimia dan zat kimia pembasmi hama juga
berdampak pada tingginya biaya produksi yang harus ditanggung petani.
d. Peningkatan produksi pangan tidak diikuti oleh pendapatan petani secara
keseluruhan karena penggunaan teknologi modern hanya dirasakan oleh petani
kaya.
Sebelum Revolusi Hijau, produksi padi yang merupakan bahan pangan utama di
Indonesia masih bergantung pada cara pertanian dengan mengandalkan luas lahan
dan teknologi yang sederhana. Pada periode kemudian, intensifikasi pertanian
menjadi tumpuan bagi peningkatan produksi pangan nasional. Usaha peningkatan
produksi pangan di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1950-an. Pada waktu
itu, pemerintah menerapkan kebijakan Rencana Kemakmuran Kasimo. Program itu
dilakukan pada kurun waktu tahun 1952–1956. Keinginan mencapai produksi pangan
yang tinggi kemudian dilanjutkan. Beberapa program baru dilaksanakan, seperti
program padi sentra pada tahun 1959– 1962 dan program bimbingan masyarakat
(bimas) pada tahun 1963–1965.
Program-program tersebut telah merintis penerapan prinsip-prinsip Revolusi
Hijau di Indonesia melalui pelaksanaan kegiatan Pancausaha Tani yang mencakup
intensifikasi dan mekanisasi pertanian. Berbagai usaha telah dilakukan oleh
pemerintah (departemen pertanian), seperti “Bimas (Bimbingan Massal),
Intensifikasi Masal (Inmas), Insus (Intensifikasi Khusus), Opsus (Operasi
Khusus). Insus dan Opsus lebih menekankan pada peningkatan partisipasi petani
secara kelompok dan aparat pembina dalam meningkatkan produksi. Insus merupakan
upaya intensifikasi kelompok guna meningkatkan potensi lahan, sedangkan opsus
merupakan upaya menjangkau lahan yang belum diintensifikasi dan mencoba memberi
rangsangan dalam peningkatan produksi.
Berbagai usaha yang telah dilakukan belum berhasil menutupi kebutuhan
pangan yang besar. Produksi beras per tahun menunjukkan kenaikan dari 5,79 juta
ton pada tahun 1950 menjadi 8,84 juta ton pada tahun 1965. Namun, jumlah beras
yang tersedia per jiwa masih tetap rendah sehingga impor beras masih tetap
tinggi. Ketika ekonomi nasional memburuk pada awal tahun 1960-an, persediaan beras nasional juga menurun. Akibatnya, harga beras meningkat
dan masyarakat sulit mendapatkan beras di pasar. Ketika Pelita I dimulai pada
tahun 1969, sebuah rencana peningkatan hasil tanaman pangan khususnya beras
dilakukan melalui program intensifikasi masyarakat (inmas). Program inmas
tersebut untuk melanjutkan program bimbingan masyarakat (bimas).
Pusat-pusat penelitian itu tidak hanya bergantung pada pembudidayaan jenis
padi yang telah dikembangkan oleh IRRI. Para peneliti Indonesia juga melakukan
penyilangan terhadap jenis padi lokal. Mereka berhasil menemukan jenis padi baru
yang lebih berkualitas, baik dalam penanaman, tingkat produksi, maupun rasa
dengan memanfaatkan teknologi baru yang ada. Hasilnya, beberapa jenis benih
unggul yang dikenal sebagai padi IR, PB, VUTW, C4, atau Pelita ditanam secara
luas oleh para petani Indonesia sejak tahun 1970-an.
Perkembangan Revolusi Hijau di Indonesia mengalami pasang surut karena
faktor alam ataupun kerusakan ekologi. Hal ini tentu saja memengaruhi
persediaan beras nasional. Pada tahun 1972, produksi beras Indonesia terancam
oleh musim kering yang panjang. Usaha peningkatan produksi beras nasional
sekali lagi terganggu karena serangan hama dengan mencakup wilayah yang sangat
luas pada tahun 1977. Produksi pangan mengalami kenaikan ketika program
intensifikasi khusus (insus) dilaksanakan pada tahun 1980. Hasilnya, Indonesia
mampu mencapai tingkat swasembada beras dan berhenti mengimpor beras pada tahun
1984. Padahal, pada tahun 1977 dan 1979 Indonesia merupakan pengimpor beras
terbesar di dunia.
Selain memanfaatkan jenis padi baru yang unggul, peningkatan produksi beras
di Indonesia didukung oleh penggunaan pupuk kimia, mekanisasi pengolahan tanah,
pola tanam, pengembangan teknologi pascapanen, penggunaan bahan kimia untuk
membasmi hama pengganggu, pencetakan sawah baru, dan perbaikan serta
pembangunan sarana dan prasarana irigasi. Selain kebijakan intensifikasi,
Indonesia juga melakukan pencetakan sawah baru. Sampai tahun 1985, sudah
terdapat 4,23 juta hektar sawah beririgasi terutama di Jawa, Bali, dan Nusa
Tenggara Barat dibandingkan sekitar 1,8 juta hektar pada tahun 1964. Selama
empat pelita, telah dibangun dan diperbaiki sekitar 8,3 juta hektar sawah
beririgasi.
Dengan demikian Revolusi Hijau memberikan pengaruh yang positif dalam
pengadaan pangan. Sejak tahun 1950 Indonesia masuk menjadi anggota FAO (Food
and Agricultur Organization). FAO telah banyak memberi bantuan untuk
pengembangan pertanian. Keberhasilan Indonesia dalam swasembada pangan
dibuktikan dengan adanya penghargan dari FAO pada tahun 1988. Hal ini berarti
Indonesia telah dapat mengatasi masalah pangan.
Sesuai tahapan yang ada dalam pelita, sektor industri juga mengalami
penargetan dan pencapaian sasaran, seperti berikut ini.
a. Pelita I (1 April 1969–31 Maret 1974) sektor pertanian dan industri
dititik-beratkan pada industri yang mendukung sektor pertanian.
b. Pelita II (1 April 1974–31 Maret 1979) sektor pertanian dan industri
dititik-beratkan pada industri yang
\ mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
c. Pelita III (1 April 1979–31 Maret 1984) sektor pertanian dan industri
dititikberatkan pada pengolahan bahan baku menjadi barang jadi.
d. Pelita IV (1 April 1984–31 Maret 1989) sektor pertanian dan industri
dititikberatkan pada industri yang menghasilkan mesin-mesin industri baik untuk
industri berat maupun ringan.
e. Pelita V (1 April 1989–31 Maret 1994) sektor pertanian dan industri
diprogramkan untuk dapat menghasilkan barang ekspor industri yang menyerap
banyak tenaga kerja, industri yang mampu mengolah hasil pertanian dan
swasembada pangan dan industri yang dapat menghasilkan barang-barang industri.
f. Pelita VI (1 April 1994–31 Maret 1998) sektor pertanian dan industri
dititik-beratkan pada pembangunan industri nasional yang mengarah pada
penguatan dan pendalaman struktur industri didukung kemampuan teknologi yang
makin meningkat.
Dengan penargetan dan pencapaian hasil teknologi yang dimaksudkan,
Indonesia tumbuh menjadi kawasan industri di berbagai tempat. Lahan-lahan
pertanian banyak berubah menjadi kawasan industri, baik oleh pemodal asing
(PMA) maupun pemodal dalam negeri (PMDN). Mental pejabat Orde Baru yang korup
menambah parah dampak industrialisasi di Indonesia. Banyak industri yang tidak
mempunyai atau tidak lolos dalam penyampaian analisis dampak lingkungan
(AMDAL), tetapi karena mampu menyuap pejabat berwenang yang mengeluarkan izin
pendirian kawasan industri, akhirnya mampu membangun industri tersebut.
Jika semua unsur pendirian industri yang mengarah pada ramah lingkungan itu
terpenuhi, tentu dampak negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan
demikian, kelestarian lingkungan hidup akan dapat selalu dijaga.
Demikianlah Materi Dampak Revolusi Hijau dan Industrialisasi terhadap
Perubahan Sosial Ekonomi di Pedesaan dan Perkotaan pada Masa Orde Baru.
Kondisi
Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru
Keberhasilan Politik Luar
Negeri Orde Baru
Menurut Norman J. Padelford, “national
interest of a country is what its govermental leaders and in large degree also
what its people consider at anytime to be vital to their national independence
way, way of life, territorial security, and economic welfare. “ Dalam
hal ini, kepentingan nasional lah yang paling menjadi landasan paling penting
dalam pembentukan politik luar negeri. Penting untuk diingat bahwasanya
landasan utama orde baru adalah pembangunan dan stabilitas nasional.
Untuk mencapai kepentingan nasional
nya, maka pemerintah orba membentuk beberapa kebijakan luar negeri. Merujuk
dari penjelasan diatas, bahwa politik luar negeri yang telah dibangun oleh
politik luar negeri orba bisa disimpulkan menjadi tiga variabel: Perbaikan
Ekonomi, Normalisasi hubungan dengan dunia barat, dan revitalisasi organisasi
regional.
Pertama, Perbaikan ekonomi yang menjadi
prioritas pemerintah orba dituangka dalam pembangunan lima tahun (Pelita).
Pelita direncanakan setiap lima tahun dan ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Untuk mendukung
terlaksananya pelita, Indonesia membentuk negara-negara pendonor dalam forum
Inter-govermental Group On Indonesia (IGGI). Selain itu, pemerintah pun membuat
UU investasi yang mempermudah investasi asing masuk ke dalam negeri.
Beberapa faktor yang menjadikan ini
berhasil yaitu,
- Kelompok Bappenas yang terkenal disebut “mafia berkeley” yaitu tim yang sebagian besar lulus dari University of California di Berkeley yang diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro. Ideologi ekonomi yang terlampau tidak terlalu berbeda, yaitu ekonomi liberal, menjadikan kerjasama antara negara-negara barat menjadi lancar. Hal-hal krusial yang menjadi masalah di zaman orde lama seperti investasi asing, dll. tidak terlalu menjadi masalah.
- Komitmen Presiden Soeharto untuk memperbaiki perekonomiannya dan meninggalkan isu politik tinggi (High Politics) sebagai landasan pemerintahannya.
Kedua, memperbaiki hubungan dengan
negara-negara barat adalah salah satu politik luar negeri penting yang
dilaksanakan pemerintah orba. Salah satu yang diperbaiki adalah kerjasama
ekonomi dengan membentuk forum seperti Inter-govermental Group On Indonesia
(IGGI). Di luar hal itu, masuknya kembali Indonesia ke dalam keanggotaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi awal normalisasi hubungan Indonesia dengan
negara-negara barat.
Hal yang menjadi isyarat presiden
Soeharto adalah pidato ada KTT Non Blok di Lusaka tahun 1970, yang mengatakan
bahwa hendaknya Indonesia harus bisa menjalin kerjasama dengan negara manapun
di dunia dalam berbagai bidang, kecuali bila tidak mempunyai hubungan
diplomatik dengan negara tesebut. Walaupun dalam pernyataannya tersebut,
Presiden Soeharto menyatakan belum perlu untuk masuk dalam aliansi atau
kelompok militer seperti NATO ataupun Pakta Warsawa.
. Dengan masuknya kembali Indonesia
ke dalam PBB, Indonesia semakin aktif dalam percaturan internasional. Faktor
yang menyebabkan keberhasilannya adalah,
- Niat baik dan komitmen Presiden Soeharto dalam menjalin hubungan baik kembali dengan negara-negara barat.
- Sambutan negara barat, terutama AS yang menganggap peran Indonesia sangat vital di Asia Tenggara terutama dalam menjaga stabilitas kawasan dan menjaga tersebarnya ideologi komunisme ketika perang dingin.
- Pengaruh dari kebutuhan bantuan ekonomi seperti yang sudah dijelaskan diatas dan juga fokus pemerintah orba yang juga untuk pembangunan.
Walaupun akhirnya bisa masuk dalam
keanggotaan PBB kembali, tidak selalu hubungan Indonesia dengan barat, terutama
AS lancar. Kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur menjadikan hubungan Indonesia
dengan AS sempat renggang.
Ketiga, Revitalisasi organisasi
regional menjadi salah satu agenda penting politik luar negeri orde baru. Hal
ini menjadi respon dari politik luar negeri orde lama yaitu konfrontasi dengan
Malaysia. Kecurigaan dan prasangka pada tetangga terdekat menjadikan Indonesia
tak pernah bisa maju untuk bekerja sama kemudian bersaing secara
sehat. Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan Asia Tenggara memiliki
nilai yang sangat strategis. Hal tersebut tercermin dari adanya berbagai
konflik di kawasan yang melibatkan kepentingan negara-negara besar pasca Perang
Dunia II, sehingga Asia Tenggara pernah dijuluki sebagai “Balkan-nya Asia”.
Persaingan antar negara adidaya dan kekuatan besar lainnya di kawasan antara
lain terlihat dari terjadinya Perang Vietnam. Disamping itu, konflik
kepentingan juga pernah terjadi diantara sesama negara-negara Asia Tenggara
seperti “konfrontasi” antara Indonesia dan Malaysia, klaim teritorial antara
Malaysia dan Filipina mengenai Sabah, serta berpisahnya Singapura dari Federasi
Malaysia.
Faktor-faktor keberhasilan nya
adalah,
- Adanya keinginan kelima negara pembentuk ASEAN yaitu me-revitalisasi kerja sama terutama di bidang ekonomi di negara-negara ASEAN
- Ada keinginan bersama untuk menjaga stabilitas kawasan dari perang dingin.
- Kelima negara tersebut ingin melaksanakan pembangunan sekaligus menjaga penyebaran ideologi komunisme.
- Dukungan dari blok barat terutama AS untuk menjaga “efek domino komunisme” terutama dari negara-negara komunis di Asia Tenggara seperti Vietnam.
Selain faktor yang diatas tadi,
terdapat sebab lainnya. Terutama faktor eksternal yang mendukung terbentuknya
organisasi regional. Filipina misalnya, adalah negara yang sebagian besar Katholik,
sehingga merasa terasing di kawasan Asia Tenggara yang sebagian besar Islam dan
Hindu. Selain itu, integrasi wilayah dalam suatu organisasi regional memberikan
kedaulatan yang lebih kuat untuk negara-negara kecil seperti Singapura dan
Brunei Darussalam. Dalam hal ini, sebenarnya alasan pragmatisme ekonomilah yang
kuat, namun bukannya integrasi ekonomi, melainkan stabilitas yang mendukung
perekonomian tumbuh. Namun dalam efektivitas kinerja organisasi regional untuk
memenuhi ekspektasi ideal tersebut, masih kurang berhasil. Misalnya dalam
mediasi konflik antar negara.
Kesimpulan
Politik Luar Negeri Orba merupakan
Antitesa dari politik luar negeri orde lama. Kebijakan yang diambil baik
bbidang politik dan ekonomi berbeda jauh dengan orde lama. Sifat bebas-aktif
adalah konsep yang interpretatif. Sifat politik luar negeri orba yang
bebas-aktif merupakan penafsiran yang berbeda dari orde lama. Ada tiga variabel
penjabaran dari kepentingan nasional orde baru, yaitu perbaikan ekonomi,
normalisasi hubungan dengan barat, dan revitalisasi organisasi regional.
0 comments:
Post a Comment