Keberhasilan Politik Luar Negeri Orde Baru
Keberhasilan Politik Luar Negeri Orde Baru
Menurut
Norman J. Padelford, “national interest of a country is what its
govermental leaders and in large degree also what its people consider at
anytime to be vital to their national independence way, way of life,
territorial security, and economic welfare. “ Dalam hal ini,
kepentingan nasional lah yang paling menjadi landasan paling penting dalam
pembentukan politik luar negeri. Penting untuk diingat bahwasanya landasan
utama orde baru adalah pembangunan dan stabilitas nasional.
Untuk
mencapai kepentingan nasional nya, maka pemerintah orba membentuk beberapa
kebijakan luar negeri. Merujuk dari penjelasan diatas, bahwa politik luar
negeri yang telah dibangun oleh politik luar negeri orba bisa disimpulkan
menjadi tiga variabel: Perbaikan Ekonomi, Normalisasi hubungan dengan dunia
barat, dan revitalisasi organisasi regional.
Pertama, Perbaikan ekonomi yang menjadi
prioritas pemerintah orba dituangka dalam pembangunan lima tahun (Pelita).
Pelita direncanakan setiap lima tahun dan ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Untuk mendukung
terlaksananya pelita, Indonesia membentuk negara-negara pendonor dalam forum
Inter-govermental Group On Indonesia (IGGI). Selain itu, pemerintah pun membuat
UU investasi yang mempermudah investasi asing masuk ke dalam negeri.
Beberapa
faktor yang menjadikan ini berhasil yaitu,
- Kelompok Bappenas yang terkenal disebut “mafia berkeley” yaitu tim yang sebagian besar lulus dari University of California di Berkeley yang diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro. Ideologi ekonomi yang terlampau tidak terlalu berbeda, yaitu ekonomi liberal, menjadikan kerjasama antara negara-negara barat menjadi lancar. Hal-hal krusial yang menjadi masalah di zaman orde lama seperti investasi asing, dll. tidak terlalu menjadi masalah.
- Komitmen Presiden Soeharto untuk memperbaiki perekonomiannya dan meninggalkan isu politik tinggi (High Politics) sebagai landasan pemerintahannya.
Kedua, memperbaiki hubungan dengan
negara-negara barat adalah salah satu politik luar negeri penting yang
dilaksanakan pemerintah orba. Salah satu yang diperbaiki adalah kerjasama
ekonomi dengan membentuk forum seperti Inter-govermental Group On Indonesia
(IGGI). Di luar hal itu, masuknya kembali Indonesia ke dalam keanggotaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi awal normalisasi hubungan Indonesia dengan
negara-negara barat.
Hal
yang menjadi isyarat presiden Soeharto adalah pidato ada KTT Non Blok di Lusaka
tahun 1970, yang mengatakan bahwa hendaknya Indonesia harus bisa menjalin
kerjasama dengan negara manapun di dunia dalam berbagai bidang, kecuali bila
tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara tesebut. Walaupun dalam
pernyataannya tersebut, Presiden Soeharto menyatakan belum perlu untuk masuk
dalam aliansi atau kelompok militer seperti NATO ataupun Pakta Warsawa.
.
Dengan masuknya kembali Indonesia ke dalam PBB, Indonesia semakin aktif dalam
percaturan internasional. Faktor yang menyebabkan keberhasilannya adalah,
- Niat baik dan komitmen Presiden Soeharto dalam menjalin hubungan baik kembali dengan negara-negara barat.
- Sambutan negara barat, terutama AS yang menganggap peran Indonesia sangat vital di Asia Tenggara terutama dalam menjaga stabilitas kawasan dan menjaga tersebarnya ideologi komunisme ketika perang dingin.
- Pengaruh dari kebutuhan bantuan ekonomi seperti yang sudah dijelaskan diatas dan juga fokus pemerintah orba yang juga untuk pembangunan.
Walaupun
akhirnya bisa masuk dalam keanggotaan PBB kembali, tidak selalu hubungan
Indonesia dengan barat, terutama AS lancar. Kasus pelanggaran HAM di
Timor-Timur menjadikan hubungan Indonesia dengan AS sempat renggang.
Ketiga, Revitalisasi organisasi
regional menjadi salah satu agenda penting politik luar negeri orde baru. Hal
ini menjadi respon dari politik luar negeri orde lama yaitu konfrontasi dengan
Malaysia. Kecurigaan dan prasangka pada tetangga terdekat menjadikan Indonesia
tak pernah bisa maju untuk bekerja sama kemudian bersaing secara
sehat. Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan Asia Tenggara memiliki
nilai yang sangat strategis. Hal tersebut tercermin dari adanya berbagai
konflik di kawasan yang melibatkan kepentingan negara-negara besar pasca Perang
Dunia II, sehingga Asia Tenggara pernah dijuluki sebagai “Balkan-nya Asia”.
Persaingan antar negara adidaya dan kekuatan besar lainnya di kawasan antara
lain terlihat dari terjadinya Perang Vietnam. Disamping itu, konflik
kepentingan juga pernah terjadi diantara sesama negara-negara Asia Tenggara
seperti “konfrontasi” antara Indonesia dan Malaysia, klaim teritorial antara
Malaysia dan Filipina mengenai Sabah, serta berpisahnya Singapura dari Federasi
Malaysia.
Faktor-faktor
keberhasilan nya adalah,
- Adanya keinginan kelima negara pembentuk ASEAN yaitu me-revitalisasi kerja sama terutama di bidang ekonomi di negara-negara ASEAN
- Ada keinginan bersama untuk menjaga stabilitas kawasan dari perang dingin.
- Kelima negara tersebut ingin melaksanakan pembangunan sekaligus menjaga penyebaran ideologi komunisme.
- Dukungan dari blok barat terutama AS untuk menjaga “efek domino komunisme” terutama dari negara-negara komunis di Asia Tenggara seperti Vietnam.
Selain
faktor yang diatas tadi, terdapat sebab lainnya. Terutama faktor eksternal yang
mendukung terbentuknya organisasi regional. Filipina misalnya, adalah negara
yang sebagian besar Katholik, sehingga merasa terasing di kawasan Asia Tenggara
yang sebagian besar Islam dan Hindu. Selain itu, integrasi wilayah dalam suatu
organisasi regional memberikan kedaulatan yang lebih kuat untuk negara-negara
kecil seperti Singapura dan Brunei Darussalam. Dalam hal ini, sebenarnya alasan
pragmatisme ekonomilah yang kuat, namun bukannya integrasi ekonomi, melainkan
stabilitas yang mendukung perekonomian tumbuh. Namun dalam efektivitas kinerja
organisasi regional untuk memenuhi ekspektasi ideal tersebut, masih kurang
berhasil. Misalnya dalam mediasi konflik antar negara.
Kesimpulan
Politik
Luar Negeri Orba merupakan Antitesa dari politik luar negeri orde lama.
Kebijakan yang diambil baik bidang politik dan ekonomi berbeda jauh dengan orde
lama. Sifat bebas-aktif adalah konsep yang interpretatif. Sifat politik luar
negeri orba yang bebas-aktif merupakan penafsiran yang berbeda dari orde lama.
Ada tiga variabel penjabaran dari kepentingan nasional orde baru, yaitu
perbaikan ekonomi, normalisasi hubungan dengan barat, dan revitalisasi
organisasi regional.
TIONGHOA
Orde Baru
Selama
Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan
kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta
keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara
esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa
pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada
Orde Baru Warga keturunan Tionghoa
juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai
warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi,
yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian
barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa
Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena
pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang
hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah
Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan
bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya
surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian
artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh
militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa
Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya
agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah.
Pemerintah
Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak
belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan
perdagangan dilakukan.
Orang
Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada
masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat
Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan
jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan
seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
Perkembangan
Pendidikan Guru pada Masa Orde Baru
a.Pembangunan Dibidang Pendidikan
Pembangunan dibidang pendidikan memiliki 2 fungsi dalam keseluruhan kerangka pembangunan ekonomi yaitu:
1.Mengusahakan agar kesempatan mendapatkan pendidikan menjadi terjangkau oleh semua masyarakat.
2.Meningkatkan secara berangsur-angsur kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan yang bermutu.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan
ini pemerintah masa orde baru melakukan:
1.Peningkatan Mutu Pendidikan Kejuruan
1.Peningkatan Mutu Pendidikan Kejuruan
Peningkatan ini melalui memutakhirkan struktur pendidikan kejuruan sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam struktur pendidikan kejuruan yang baru muncul sekolah-sekolah menengah kejuruan dibidang manajemen bisnis, pariwisata, dan perhotelan.
Padahal dulu hanya ada 4 jenis
sekolah menengah kejuruan yaitu pertanian, tehnik, ekonomi, dan kejuruan rumah
tangga. Selanjutnya adalah memodernisasi program pendidikan atau kurikulum di
semua bidang kejuruan dari pertanian teknologi sampai kejuruan rumah tangga.
2.Tindakan Darurat
Tamatan SGA yang menurut rencana semula akan ditempatkan sebagai guru SD diangkat menjadi guru SMP dan SGB. Pada tahun 1952 dibangun Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP).
Lama
pendidikan PGSLP mula-mula ditetapkan 1 tahun, namun mulai 1 September 1958
lama pendidikan ini diperpanjang menjadi 2 tahun dan lamanya diubah menjadi
Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Atas (PGSLA). Siswa PGSLP ini diambil dari
para lulusan SGA yang telah ditempatkan sebagai guru sekolah menengah. PGSLP ditutup
secara menyeluruh pada tahun ajaran 1978/1979.
3.Peningkatan
Mutu Pendidikan Umum
Peningkatan pendidikan ini dilakukan melalui peningkatan mutu guru melalui penatara-penataran guru dalam jabatandan peningkatan mutu kurikulum SD sampai kurikulum SMU. Dari program-program penataran ini lahir PPPG (Pusat Pengembangan Penataran Guru). Sejak tahun 1977 sampai 1991 didirikan 6 PPPG untuk peningkatan pendidikan umum dan 4 PPPG untuk peningkatan pendidikan kejuruan.
4.Pembaharuan Kurikulum
Sejak 1968 terjadi pembaharuan kurikulum dari tingkat SD sampai tingkat SMU dan selesai tahun 1975. Pembaharuan ini berupa perubahan cara mengemas seluruh materi pembelajaran. Misal mata pelajaran fisika, kimia, dan biologi disebut ilmu pengetahuan alam, sedangkan geografi, sejarah, dan kwarganegaraan disebut ilmu pengetahuan sosial. Program pendidikan sekolah dari SD sampai SMU pada dasarnya terdiri dari 4 mata pelajaran saja yaitu bahasa, matematika, IPA, dan IPS.
b.Pembangunan Dibidang Pendidikan Guru Pra Jabatan
Berdasarkan laporan-laporan, ada 2 langkah dasar yang dilakukan pemerintah orde baru untuk memodernisasikan pendidikan keguruan yang bersifat pra jabatan. Langkah-langkahnya yaitu:
1.Menyergamkan jenjang pendidikan guru pra jabatan, dari sistem yang merupakan gabungan antara jenjang pendidikan menengah dan jenjang perguruan tinggi menjadi sistem yang bersifat strata tunggal, yaitu semua pendidikan guru pra jabatan diselenggarakan pada jenjang perguruan tinggi.
2.Menentukan semua pendidikan guru pra jabatan dikelola oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dengan dileburnya FKIP dan IPG pada tahun 1963 menjadi IKIP, pihak Departemen P dan K selaku pihak yang mempekerjakan para lulusan lembaga pendidikan guru merasa dikalahkan, pada tahun 1989 diputuskan semua pendidikan keguruan yang bersifat pra jabatan diselenggarakan pada jenjang perguruan tinggi. Jadi pengelolaan pendidikan keguruan dipegang oleh Departemen Jendral Pendidikan Tinggi.
Coretaniwin
0 comments:
Post a Comment