Breaking News
Loading...
Monday, 24 February 2014

Keberhasilan Politik Luar Negeri Orde Baru



Keberhasilan Politik Luar Negeri Orde Baru
Menurut Norman J. Padelford, “national interest of a country is what its govermental leaders and in large degree also what its people consider at anytime to be vital to their national independence way, way of life, territorial security, and economic welfare. “ Dalam hal ini, kepentingan nasional lah yang paling menjadi landasan paling penting dalam pembentukan politik luar negeri. Penting untuk diingat bahwasanya landasan utama orde baru adalah pembangunan dan stabilitas nasional.
Untuk mencapai kepentingan nasional nya, maka pemerintah orba membentuk beberapa kebijakan luar negeri. Merujuk dari penjelasan diatas, bahwa politik luar negeri yang telah dibangun oleh politik luar negeri orba bisa disimpulkan menjadi tiga variabel: Perbaikan Ekonomi, Normalisasi hubungan dengan dunia barat, dan revitalisasi organisasi regional.
Pertama, Perbaikan ekonomi yang menjadi prioritas pemerintah orba dituangka dalam pembangunan lima tahun (Pelita). Pelita direncanakan setiap lima tahun dan ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Untuk mendukung terlaksananya pelita, Indonesia membentuk negara-negara pendonor dalam forum Inter-govermental Group On Indonesia (IGGI). Selain itu, pemerintah pun membuat UU investasi yang mempermudah investasi asing masuk ke dalam negeri.
Beberapa faktor yang menjadikan ini berhasil yaitu,
  • Kelompok Bappenas yang terkenal disebut “mafia berkeley” yaitu tim yang sebagian besar lulus dari University of California di Berkeley yang diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro. Ideologi ekonomi yang terlampau tidak terlalu berbeda, yaitu ekonomi liberal, menjadikan kerjasama antara negara-negara barat menjadi lancar. Hal-hal krusial yang menjadi masalah di zaman orde lama seperti investasi asing, dll. tidak terlalu menjadi masalah.
  • Komitmen Presiden Soeharto untuk memperbaiki perekonomiannya dan meninggalkan isu politik tinggi (High Politics) sebagai landasan pemerintahannya.
Kedua, memperbaiki hubungan dengan negara-negara barat adalah salah satu politik luar negeri penting yang dilaksanakan pemerintah orba. Salah satu yang diperbaiki adalah kerjasama ekonomi dengan membentuk forum seperti Inter-govermental Group On Indonesia (IGGI). Di luar hal itu,  masuknya kembali Indonesia ke dalam keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi awal normalisasi hubungan Indonesia dengan negara-negara barat.
Hal yang menjadi isyarat presiden Soeharto adalah pidato ada KTT Non Blok di Lusaka tahun 1970, yang mengatakan bahwa hendaknya Indonesia harus bisa menjalin kerjasama dengan negara manapun di dunia dalam berbagai bidang, kecuali bila tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara tesebut. Walaupun dalam pernyataannya tersebut, Presiden Soeharto menyatakan belum perlu untuk masuk dalam aliansi atau kelompok militer seperti NATO ataupun Pakta Warsawa.
. Dengan masuknya kembali Indonesia ke dalam PBB, Indonesia semakin aktif dalam percaturan internasional. Faktor yang menyebabkan keberhasilannya adalah,
  • Niat baik dan komitmen Presiden Soeharto dalam menjalin hubungan baik kembali dengan negara-negara barat.
  • Sambutan negara barat, terutama AS yang menganggap peran Indonesia sangat vital di Asia Tenggara terutama dalam menjaga stabilitas kawasan dan menjaga tersebarnya ideologi komunisme ketika perang dingin.
  • Pengaruh dari kebutuhan bantuan ekonomi seperti yang sudah dijelaskan diatas dan juga fokus pemerintah orba yang juga untuk pembangunan.
Walaupun akhirnya bisa masuk dalam keanggotaan PBB kembali, tidak selalu hubungan Indonesia dengan barat, terutama AS lancar. Kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur menjadikan hubungan Indonesia dengan AS sempat renggang.
Ketiga,  Revitalisasi organisasi regional menjadi salah satu agenda penting politik luar negeri orde baru. Hal ini menjadi respon dari politik luar negeri orde lama yaitu konfrontasi dengan Malaysia. Kecurigaan dan prasangka pada tetangga terdekat menjadikan Indonesia tak pernah bisa maju untuk bekerja sama kemudian bersaing secara sehat. Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan Asia Tenggara memiliki nilai yang sangat strategis. Hal tersebut tercermin dari adanya berbagai konflik di kawasan yang melibatkan kepentingan negara-negara besar pasca Perang Dunia II, sehingga Asia Tenggara pernah dijuluki sebagai “Balkan-nya Asia”. Persaingan antar negara adidaya dan kekuatan besar lainnya di kawasan antara lain terlihat dari terjadinya Perang Vietnam. Disamping itu, konflik kepentingan juga pernah terjadi diantara sesama negara-negara Asia Tenggara seperti “konfrontasi” antara Indonesia dan Malaysia, klaim teritorial antara Malaysia dan Filipina mengenai Sabah, serta berpisahnya Singapura dari Federasi Malaysia.



Faktor-faktor keberhasilan nya adalah,
  • Adanya keinginan kelima negara pembentuk ASEAN yaitu me-revitalisasi kerja sama terutama di bidang ekonomi di negara-negara ASEAN
  • Ada keinginan bersama untuk menjaga stabilitas kawasan dari perang dingin.
  • Kelima negara tersebut ingin melaksanakan pembangunan sekaligus menjaga penyebaran ideologi komunisme.
  • Dukungan dari blok barat terutama AS untuk menjaga “efek domino komunisme” terutama dari negara-negara komunis di Asia Tenggara seperti Vietnam.
Selain faktor yang diatas tadi, terdapat sebab lainnya. Terutama faktor eksternal yang mendukung terbentuknya organisasi regional. Filipina misalnya, adalah negara yang sebagian besar Katholik, sehingga merasa terasing di kawasan Asia Tenggara yang sebagian besar Islam dan Hindu. Selain itu, integrasi wilayah dalam suatu organisasi regional memberikan kedaulatan yang lebih kuat untuk negara-negara kecil seperti Singapura dan Brunei Darussalam. Dalam hal ini, sebenarnya alasan pragmatisme ekonomilah yang kuat, namun bukannya integrasi ekonomi, melainkan stabilitas yang mendukung perekonomian tumbuh. Namun dalam efektivitas kinerja organisasi regional untuk memenuhi ekspektasi ideal tersebut, masih kurang berhasil. Misalnya dalam mediasi konflik antar negara.
Kesimpulan
Politik Luar Negeri Orba merupakan Antitesa dari politik luar negeri orde lama. Kebijakan yang diambil baik bidang politik dan ekonomi berbeda jauh dengan orde lama. Sifat bebas-aktif adalah konsep yang interpretatif. Sifat politik luar negeri orba yang bebas-aktif merupakan penafsiran yang berbeda dari orde lama. Ada tiga variabel penjabaran dari kepentingan nasional orde baru, yaitu perbaikan ekonomi, normalisasi hubungan dengan barat, dan revitalisasi organisasi regional.
TIONGHOA

Orde Baru

Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
Perkembangan Pendidikan Guru pada Masa Orde Baru

            a.Pembangunan Dibidang Pendidikan
            Pembangunan dibidang pendidikan memiliki 2 fungsi dalam keseluruhan kerangka pembangunan ekonomi yaitu:

1.Mengusahakan agar kesempatan mendapatkan pendidikan menjadi terjangkau oleh semua masyarakat.

2.Meningkatkan secara berangsur-angsur kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan yang bermutu.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan ini pemerintah masa orde baru melakukan:

1.Peningkatan Mutu Pendidikan Kejuruan

            Peningkatan ini melalui memutakhirkan struktur pendidikan kejuruan sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam struktur pendidikan kejuruan yang baru muncul sekolah-sekolah menengah kejuruan dibidang manajemen bisnis, pariwisata, dan perhotelan.  

Padahal dulu hanya ada 4 jenis sekolah menengah kejuruan yaitu pertanian, tehnik, ekonomi, dan kejuruan rumah tangga. Selanjutnya adalah memodernisasi program pendidikan atau kurikulum di semua bidang kejuruan dari pertanian teknologi sampai kejuruan rumah tangga.


2.Tindakan Darurat

Tamatan SGA yang menurut rencana semula akan ditempatkan sebagai guru SD diangkat menjadi guru SMP dan SGB. Pada tahun 1952 dibangun Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP).

Lama pendidikan PGSLP mula-mula ditetapkan 1 tahun, namun mulai 1 September 1958 lama pendidikan ini diperpanjang menjadi 2 tahun dan lamanya diubah menjadi Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Atas (PGSLA). Siswa PGSLP ini diambil dari para lulusan SGA yang telah ditempatkan sebagai guru sekolah menengah. PGSLP ditutup secara menyeluruh pada tahun ajaran 1978/1979.





3.Peningkatan Mutu Pendidikan Umum

            Peningkatan pendidikan ini dilakukan melalui peningkatan mutu guru melalui penatara-penataran guru dalam jabatandan peningkatan mutu kurikulum SD sampai kurikulum SMU. Dari program-program penataran ini lahir PPPG (Pusat Pengembangan Penataran Guru). Sejak tahun 1977 sampai 1991 didirikan 6 PPPG untuk peningkatan pendidikan umum dan 4 PPPG untuk peningkatan pendidikan kejuruan.


4.Pembaharuan Kurikulum

Sejak 1968 terjadi pembaharuan kurikulum dari tingkat SD sampai tingkat SMU dan selesai tahun 1975. Pembaharuan ini berupa perubahan cara mengemas seluruh materi pembelajaran. Misal mata pelajaran fisika, kimia, dan biologi disebut ilmu pengetahuan alam, sedangkan geografi, sejarah, dan kwarganegaraan disebut ilmu pengetahuan sosial. Program pendidikan sekolah dari SD sampai SMU pada dasarnya terdiri dari 4 mata pelajaran saja yaitu bahasa, matematika, IPA, dan IPS.



b.Pembangunan Dibidang Pendidikan Guru Pra Jabatan

Berdasarkan laporan-laporan, ada 2 langkah dasar yang dilakukan pemerintah orde baru untuk memodernisasikan pendidikan keguruan yang bersifat pra jabatan. Langkah-langkahnya yaitu:


1.Menyergamkan jenjang pendidikan guru pra jabatan, dari sistem yang merupakan gabungan antara jenjang pendidikan menengah dan jenjang perguruan tinggi menjadi sistem yang bersifat strata tunggal, yaitu semua pendidikan guru pra jabatan diselenggarakan pada jenjang perguruan tinggi.

2.Menentukan semua pendidikan guru pra jabatan dikelola oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dengan dileburnya FKIP dan IPG pada tahun 1963 menjadi IKIP, pihak Departemen P dan K selaku pihak yang mempekerjakan para lulusan lembaga pendidikan guru merasa dikalahkan, pada tahun 1989 diputuskan semua pendidikan keguruan yang bersifat pra jabatan diselenggarakan pada jenjang perguruan tinggi. Jadi pengelolaan pendidikan keguruan dipegang oleh Departemen Jendral Pendidikan Tinggi.

Coretaniwin

0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2014 Coretaniwin All Right Reserved