Rukun, Hukum dan Muhrim
Rukun, Hukum
dan Muhrim
Rukun akad nikah dalam Islam ada tiga:
1. Adanya kedua mempelai yang tidak memiliki
penghalang keabsahan nikah seperti adanya hubungan mahram dari keturunan,
sepersusuan atau semisalnya. Atau pihak laki-laki adalah orang kafir sementara
wanitanya muslimah atau semacamnya.
2. Adanya penyerahan (ijab), yang diucapkan wali atau
orang yang menggantikan posisinya dengan mengatakan kepada (calon) suami, 'Saya
nikahkan anda dengan fulanah' atau ucapan semacamnya.
3. Adanya penerimaan (qabul), yaitu kata yang
diucapkan suami atau ada orang yang menggantikan posisinya dengan mengatakan,
'Saya menerimnya.' atau semacamnya.
Allah tidak membiarkan para hamba-Nya
hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya
menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib
bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya.
1.Nikah Syighar
Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu.” [1]
Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” [2]
Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak.[3]
2. Nikah Tahlil
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.
Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil [4] dan muhallala lahu.” [5][6]
3. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan, atau lebih.
Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah. Apabilah telah terjadi, maka nikahnya batal!
1.Nikah Syighar
Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu.” [1]
Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” [2]
Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak.[3]
2. Nikah Tahlil
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.
Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil [4] dan muhallala lahu.” [5][6]
3. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan, atau lebih.
Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah. Apabilah telah terjadi, maka nikahnya batal!
Telah diriwayatkan dari Sabrah al-Juhani
radhiyal-laahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fat-hul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami mening-galkan Makkah, beliau pun telah melarang kami darinya (melakukan nikah mut’ah).” [7]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah selama tiga hari). Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah) selama-lamanya hingga hari Kiamat.” [8]
4. Nikah Dalam Masa ‘Iddah.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya.” [Al-Baqarah : 235]
5. Nikah Dengan Wanita Kafir Selain Yahudi Dan Nasrani.[9]
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah : 221]
6. Nikah Dengan Wanita-Wanita Yang Diharamkan Karena Senasab Atau Hubungan Kekeluargaan Karena Pernikahan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fat-hul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami mening-galkan Makkah, beliau pun telah melarang kami darinya (melakukan nikah mut’ah).” [7]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah selama tiga hari). Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah) selama-lamanya hingga hari Kiamat.” [8]
4. Nikah Dalam Masa ‘Iddah.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya.” [Al-Baqarah : 235]
5. Nikah Dengan Wanita Kafir Selain Yahudi Dan Nasrani.[9]
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah : 221]
6. Nikah Dengan Wanita-Wanita Yang Diharamkan Karena Senasab Atau Hubungan Kekeluargaan Karena Pernikahan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
tetapi jika
kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu
(jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa' : 23]
7. Nikah Dengan Wanita Yang Haram Dinikahi Disebabkan Sepersusuan, Berdasarkan Ayat Di Atas.
8. Nikah Yang Menghimpun Wanita Dengan Bibinya, Baik Dari Pihak Ayahnya Maupun Dari Pihak ibunya.
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak ayah), tidak juga antara wanitadengan bibinya (dari pihak ibu).” [10]
9. Nikah Dengan Isteri Yang Telah Ditalak Tiga.
Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak, hingga engkau merasakan madunya (bersetubuh) dan ia merasakan madumu.”[11]
7. Nikah Dengan Wanita Yang Haram Dinikahi Disebabkan Sepersusuan, Berdasarkan Ayat Di Atas.
8. Nikah Yang Menghimpun Wanita Dengan Bibinya, Baik Dari Pihak Ayahnya Maupun Dari Pihak ibunya.
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak ayah), tidak juga antara wanitadengan bibinya (dari pihak ibu).” [10]
9. Nikah Dengan Isteri Yang Telah Ditalak Tiga.
Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak, hingga engkau merasakan madunya (bersetubuh) dan ia merasakan madumu.”[11]
10. Nikah Pada Saat Melaksanakan Ibadah Ihram.
Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam:
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar.” [12]
11. Nikah Dengan Wanita Yang Masih Bersuami.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami...” [An-Nisaa' : 24]
12. Nikah Dengan Wanita Pezina/Pelacur.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam:
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar.” [12]
11. Nikah Dengan Wanita Yang Masih Bersuami.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami...” [An-Nisaa' : 24]
12. Nikah Dengan Wanita Pezina/Pelacur.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
"Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali
dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan
tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki
musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” [An-Nuur :
3]
Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]
Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi.
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal.”[13]
13. Nikah Dengan Lebih Dari Empat Wanita.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat...” [An-Nisaa' : 3]
Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda,
“Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya.” [14]
Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan men-ceritakan keadaannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Pilihlah empat orang dari mereka.” [15]
Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]
Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi.
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal.”[13]
13. Nikah Dengan Lebih Dari Empat Wanita.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat...” [An-Nisaa' : 3]
Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda,
“Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya.” [14]
Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan men-ceritakan keadaannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Pilihlah empat orang dari mereka.” [15]
Adapun syarat-syarat sahnya nikah
adalah:
1.
Masing-masing kedua mempelai telah ditentukan, baik dengan isyarat, nama atau
sifat atau semacamnya.
2. Kerelaan
kedua mempelai. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
ا“Al-Ayyimu (wanita yang pisah dengan suaminya karena meninggal
atau cerai) tidak dinikahkan mendapatkan perintah darinya (harus diungkapkan
dengan jelas persetujuannya). Dan gadis tidak dinikahkan sebelum diminta
persetujuannya (baik dengan perkataan atau diam). Para shahabat bertanya,
‘Wahai Rasulullah, bagaimana persetujuannya?' Beliau menjawab, 'Dia diam (sudah
dianggap setuju)." (HR. Bukhori, no. 4741)
3. Yang melakukan akad bagi pihak
wanita adalah walinya. Karena dalam masalah nikah Allah mengarahkan perintahnya
kepada para wali.
FirmanNya,
‘Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu" (QS. An-Nur:
32)
Juga
berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari
walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal."
(HR. Tirmizi, no. 1021)
Dan hadits
lainnya yang shahih.
4. Ada saksi
dalam akad nikah.
Berdasarkan
sabda Nabi sallahu’alaihi wa sallam,
“Tidak (sah) nikah kecuali dengan kehadiran
wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadits ini juga terdapat dalam kitab
Shahih Al-Jami’, no. 7558)
Sangat
dianjurkan mengumumkan pernikahan. Berdasarkan sabda Rasulullah
sallallahu’alaihi wa sallam, "Umumkanlah pernikahan kalian’ (HR. Imam
Ahmad. Dihasankan dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 1072).
Adapun
syarat untuk wali, sebagai berikut:
1.
Berakal.
2.
Baligh.
3.
Merdeka (bukan budak).
4.
Kesamaan agama. Maka tidak sah wali kafir untuk orang Islam laki-laki dan
perempuan. Begitu pula tidak sah perwalian orang Islam untuk orang kafir
laki-laki atau perempuan. Adapun orang kafir menjadi wali bagi wanita kafir
adalah, meskipun berbeda agamanya. Dan orang yang keluar dari agama (murtad)
tidak bisa menjadi wali bagi siapapun.
5.
Adil, bukan fasik. Sebagian ulama menjadikan hal ini sebagai syarat, tapi
sebagian lain mencukupkan dengan syarat sebelumnya. Sebagian lagi mencukupkan
syarat dengan kemaslahatan bagi yang diwalikan untuk menikahkannya.
6.
Laki-laki.
Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,
“Wanita tidak
(dibolehkan) menikahkan wanita lainnya. Dan wanita tidak boleh menikahkan
dirinya sendiri. Karena wanita pezina adalah yang menikahkan dirinya
sendiri." (HR. Ibnu Majah, no. 1782. Hadits ini terdapat dalam
Shahih Al-Jami, no. 7298)
7.
Bijak, yaitu orang yang mampu mengetahui kesetaraan (antara kedua pasangan) dan
kemaslahatan pernikahan.
Para wali
harus berurutan menurut ahli fiqih. Maka tidak dibolehkan melewati wali
terdekat, kecuali jika wali terdekat tidak ada atau tidak memenuhi syarat. Wali
seorang wanita adalah bapaknya, kemudian orang yang diwasiatkannya untuk
menjadi walinya, lalu kakek dari bapak sampai ke atas, lalu anak laki-lakinya,
lalu cucu sampai ke bawah. Kemudian saudara laki-laki sekandung,
berikutnya saudara laki-laki seayah, kemudian anak dari keduanya.
Kemudian paman sekandung, lalu paman sebapak, kemudian anak dari keduanya.
Kemudian yang terdekat dari sisi keturunan dari asobah seperti dalam waris.
Kemudian penguasa muslim (dan orang yang menggantikannya seperti Hakim) sebagai
wali bagi yang tidak mempunyai perwalian.
Pengertian Mahram
Kata Mahram berasal dari bahasa Arab yaitu Mahram,
Mahram memiliki arti sesuatu yang dilarang. Dalam fiqih istilah mahram ini
digunakan untuk menyebut wanita yang haram dinikahi oleh pria. Selain istilah
mahram, terkadang juga ada sebutan Muhrim.
Sebenarnya arti dari Muhrim adalah yang mengharamkan. Dalam hal ini yang
dimaksud adalah suami, karena suami menyebabkan seorang wanita haram dinikahi
oleh pria lain.
Penjelasan tentang wanita-wanita yang haram untuk
dinikai dapat dilihat dalam dalil-dalil Al Qur an dan hadis. Di antaranya yang
cukup terperinci adalah Srah an-Nisa (4) ayat 23. Wanita-wanita tersebut dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu wanita yang dinikahi untuk selamanya dan yang haram
dinikahi dalam waktu tertentu.
Ada tiga hal yang
dapat menyebabkan wanita haram dinikahi untuk selamanya.
Pertama,
karena hubungan kekerabatan (qarabah) atau keturunan (nasab). Yang diharamkan
karena sebab ini terdiri dari empat golongan.
1.
Orang tua, yakni ibu, nenek, dan seterusnya hingga ke
atas.
2.
Keturunannya, yaitu anak perempuan, cucu perempuan,
dan seterusnya sampai ke bawah
3.
Keturunan kedua orang tua atau salah satunya, yaitu
saudara perempuan, baik sekandung, seayah, maupun seibu beserta anak perempuan
mereka, cucu perempuan mereka, dan seterusnya sampai ke bawah.
4.
Keturunan langsung dari kakek atau nekek, yaitu
saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu.
Sedangkan keturunan tidak langsung dari kakek atau
nenek tidak tergolong mahram. Misalnya, anak perempuan paman atau bibi.
Kedua,
karena hubungan perkawinan (musaharah). Wanita-wanita yang termasuk mahram
karena sebab ini juga terdiri atas empat golongan, yaitu
1.
Istri orang tua, yakni istri ayah, istri kakek, dan
seterusnya hingga ke atas, baik sudah disetubuhi maupun belum, baik yang masih
berstatus sebagai istri mereka maupun sudah dicerai atau ditinggal wafat.
Dengan kata lain, yang termasuk mahram adalah ibu tiri, nenek tiri, dan
seterusnya sampai ke atas.
2.
Istri keturunan, yaitu istri anak, istri cucu, dan
seterusnya sampai ke bawah, baik yang sudah disetubuhi ataupun belum, baik yang
masih berstatus sebagai istri mereka maupun yang sudah dicerai atau ditinggal
meninggal.
3.
Orang tua istri, yaitu ibunya, neneknya dan seterusnya
sampai ke atas, baik orang itu sudah berhubungan badan dengan istrinya maupun
belum, baik istrinya tersebut masih dalam ikatan perkawinan dengannya maupun
yang sudah dicerai atau sudah meninggal.
4.
Keturunan istri, yaitu anak perempuannya, cucu
perempuannya dan seterusnya sampai ke bawah, jika orang tersebut sudah
berhubungan badan dengan istrinya itu, baik istrinya itu masih dalam ikatan
perkawinan dengannya maupun sudah sudah diceraikan atau sudah meninggal .
Namun apabila ia
belum berhubungan badan dengan sang istri, kemudian menceritakannya, maka ia
boleh menikahi keturunan mantan istrinya itu.
Selain perkawinan yang sah seperti dijelaskan di atas,
Mahzab Hanafi menambahkan tiga sebab lagi yaitu :
1.
Hubungan badan dalam akad nikah yang fasid,
seperti nikah tanpa adanya saksi
2.
Hubungan badan yang terjadi karene kekeliruan, seperti
seorang berhubungan badan dengan seorang perempuan yang disangka istrinya
3.
Hubungan badan karena zina.
Penyebab terakhir ini juga ditambahkan oleh Mahzab Hanbali. Dalam tiga hal ini,
keharaman yang ditimbulkannya sama seperti nikah yang sah. Misalnya, seseorang
haram menikahi anak perempuannya dari hasil zina.
Ketiga,
karena hubungan persusuan (rada’ah). Yang diharamkan karena sebab ini seperti
yang diharamkan karena sebab nasab dan perkawinan. Dengan demikian, delapan
golongan yang sudah dijelaskan di atas juga menjadi haram dinikahi karena sebab
hubungan persusuan. Hal ini dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW,
“Perempuan-perempuan yang haram karena susuan sama dengan yang diharamkan
karena keturunan.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar susuan
mengakibatkan keharaman yaitu
1.
Susuan tersebut terjadi sebelum usia dua tahun
2.
Susuan terjadi sebanyak lima kali secara terpisah.
Syarat yang kedua ini ditetapkan oleh Mazhab Syafii dan Mahzad Hanbali.
Sedangkan perempuan
yang haram dinikahi dalam waktu tertentu adalah sebagai berikut :
Pertama,
perempuan yang sedangn dalam ikatan perkawinan atau sedang dalam maasa idah.
Kedua,
Perempuan yang sudah ditalak tiga. Ketentuan ini hanya berlaku bagi
mantan suaminya. Perempuan demikian boleh dinikahi kembali olen mantan suami
setelah menikah dengan lelaki lain, melakukan hubungan badan dengan suami
kedua, lalu bercerai dan telah habis masa idahnya.
Ketiga,
perempuan yang berzina.
Mengenai perinciannya, para ulama berbeda pendapat. Semua ulama sepakat bahwa
laki-laki yang berzina dengannya boleh menikahinya. yang diperselisihkan adalah
kebolehan lelaki lain menikahinya. Mazhab Syafii membolekannya. Mazhab Hanafi
juga membolehkan hal itu. Namun, jika perempuan itu hamil karena zina, maka sebelum
melahirkan tidak boleh disetubuhi.
Mazhab Maliki
membolehkan menikahi perempuan yang berzina dengan syarat telah melewati masa
tiga bulan sejak terjadinya zina atau setelah ia melahirkan
kandungannya.Sedangkan menurut Mazhab Hanbali, perempuan yang berzina boleh
dinikahi dengan dua syarat :
1.
Telah melewati masa tiga bulan sejak terjadinya zina
atau telah melahirkan,
2.
Sudah bertobat.
Keempat,
Perempuan selain Ahli kitab. Perempuan murtad digolongkan dalam kategori ini,
meskipun ia memeluk agam yahudi atau nasrani. Ia baru boleh dinikahi setelah
masuk islam.
Kelima,
saudara perempuan istri dan perempuan-perempuan lain yang termasuk mahramnya,
seperti bibinya atau keponakannya. Namun, jika istri tersebut sudah sudah
diceraikan dan habis masa idahnya, mantan suami boleh menikahi sudara perempuan
mantan istrinya.
Keenam,
menikahi perempuan kelima. Hal ini diharamkan karena jumlah maksimal perempuan
yang boleh dinikahi dalam waktu yang sama adalah empat orang.
Ketujuh,
Perempuan yang sedang berihram haji atau umrah. ia boleh dinikahi setelah
ibadah haji atau umrahnya Selesai.
.
oretaniwin
0 comments:
Post a Comment