Kajian budaya
Kajian Budaya
Kajian Budaya
Media telah menjadi alat utama di mana kita semua
mengalami atau belajar mengenai banyak aspek mengenai dunia di sekitar kita.
Tetapi sering kali cara yang digunakan media dalam melaporkan suatu peristiwa
dapat berbeda secara signifikan.
Stuart Hall adalah
teoritikus utama dalam kajian budaya. Ia mempertanyakan peranan berbagai
institusi elit seperti media dan gambaran mereka yang sering kali salah dan
menyesatkan. Tidak seperti teoritikus komunikasi lainnya, Hall berfokus pada
peran media dan kemampuannya untuk membentuk opini publik mengenai masyarakat
yang termarginalkan, termasuk orang miskin, masyarakat terasing, dan komunitas
atau kelompok lainnya. Proses marginalkan melalui media ini sering
diperbesar dan berlebihan. Orientasi ini mendasari karyanya dalam kajian
budaya (cultural studies).
Kajian budaya adalah
perspektif teoritis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya
yang kuat dan dominan. Kajian budaya jauh melampaui media, sering juga disebut
kajian khalayak. Kajian budaya berkaitan dengan sikap, pendekatan, dan kritik
mengenai sebuah budaya (West & Turner 2008, II:63).
Kajian
budaya berkembang di Inggris. Stuart Hall adalah seorang teoritikus budaya
dan mantan direktur Center for Contemporary Cultural Studies. Ia
menyatakan bahwa media merupakan alat yang kuat bagi kaum elit. Media berfungsi
mengomunikasikan cara-cara berpikir yang dominan, tanpa memperdulikan
efektivitas pemikiran tersebut. Kajian budaya menekankan bahwa media
menjaga agar orang-orang yang berkuasa tetap memiliki kekuasan, sementara yang
kurang berkuasa menerima mentah-mentah apa yang diberikan kepada mereka.
Kajian
budaya adalah tradisi yang berakar pada tulisan-tulisan filsuf Jerman Karl
Marx. Karena prinsip-prinsip Marxis membentuk dasar teori ini. Seperti
bagaimana mereka yang memiliki kekuasaan (kaum elit) mengeksploitasi yang lemah
(kelas pekerja). Marx percaya bahwa keadaan lemah dapat menuntun pada
terjadinya alienasi, atau kondisi psikologis di mana orang mulai merasa bahwa
mereka memiliki sedikit kontrol terhadap masa depan mereka.
Para pemikir Marxis yang
percaya bahwa kelas pekerja ditekan karena adanya kepemilikan media oleh
korporasi disebut sebagai teori Mazhab Frankfurt. Teoritikus mazhab Frankfurt
ini percaya bahwa pesan-pesan media dikonstruksi dan disampaikan dengan satu
tujuan dalam benak mereka yaitu kapitalisme. Maksudnya, walaupun media dapat
saja mengklaim bahwa mereka menyampaikan informasi bagi kebaikan bersama,
tujuan utamanya (uang) membingkai tiap pesan.
Beberapa ilmuan
menganggap teori ini cenderung lebih neo-Marxis, yang berarti berbeda dari
Marxisme klasik. Pertama, tidak seperti Marx, Teoritikus kajian
budaya telah mengintegrasikan berbagai macam perspektif ke dalam
teori ini, termasuk kesenian, humaniora dan ilmu sosial. Kedua, para teoritikus
kajian budaya juga memasukkan kelompok marginal yang tidak memiliki
kekuasaan tambahan, tidak terbatas pada pekerja saja. Kelompok-kelompok ini
mencakup homoseksual, etnis minoritas, wanita, kaum dengan gangguan kejiwaan,
dan bahkan anak-anak. Ketiga, kehidupan sehari-hari bagi Marx berpusat pada
pekerjaan dan keluarga. Sedangkan kajian budaya mempelajari kegiatan rekreasi,
hobi dan olahraga untuk berusaha memahami bagaimana individu berfungsi di dalam
masyarakat. Intinya kajian budaya bergerak melampaui interpretasi mengenai
masyarakat yang kaku dan terbatas menuju konsepsi budaya yang lebih luas.
Asumsi Kajian Budaya
Kajian
budaya tertarik untuk mempelajari bagaimana kelompok elit seperti
media menggunakan kekuasaan mereka terhadap kelompok subordinat (bawah). Teori
ini berakar pada beberapa klaim penting mengenai budaya dan kekuasaan:
- Budaya tersebar dalam dan menginvasi semua sisi
perilaku manusia.
- Orang merupakan bagian dari struktur kekuasaan
yang bersifat hirarkis.
Asumsi pertama berkaitan
dengan pemikiran mengenai budaya. Budaya didefinisikan sebagai sebuah komunitas
makna. Berbagai norma, ide dan nilai serta bentuk-bentuk pemahaman di
masyarakat yang membantu orang untuk menginterpretasikan realitas mereka adalah
bagian dari ideologi sebuah budaya. Menurut Hall (1981) ideologi adalah
gambaran, konsep dan premis yang menyediakan kerangka pemikiran di mana kita
merepresentasikan, menginterpretasikan, memahami dan memaknai beberapa aspek
eksistensi sosial. Hall menambahkan bahwa ideologi mencakup bahasa, konsep dan
kategori yang dikumpulkan oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda untuk
memaknai lingkungan mereka (West & Turner, 2008, II: 65).
Dalam artian luas,
praktik-praktik budaya dan institusi memengaruhi ideologi kita. Kita
tidak dapat melarikan diri dari kenyataan budaya bahwa sebagai komunitas
global, tindakan tidak dilakukan dalam ruang hampa. Graham Murdock (1989)
menekankan ketersebaran budaya dengan menyatakan bahwa semua
kelompok secara konstan terlibat dalam menciptakan dan menciptakan ulang
sistem makna dan memberikan bentuk kepada makna ini dalam bentuk-bentuk
ekspresif, praktik-praktik sosial dan institusi-institusi.
Makna di dalam
budaya kita dibentuk oleh media. Media dapat dianggap sebagai pembawa
pesan berbasis teknologi dari budaya, bahkan media lebih daripada itu. Media
menginvasi seluruh ruang kehidupan kita, membentuk selera makan, berpakaian,
dan tindakan-tindakan lainnya.
Asumsi kedua dari kajian
budaya berkaitan dengan manusia sebagai bagian penting dari sebuah hirarki
sosial yang kuat. Kekuasaan bekerja di semua level kehidupan manusia. Walaupun
begitu, kekuasaan tidak didasarkan pada peran saja, seperti pada teori
penstrukturan adaptif. Sebaliknya Hall tertarik dengan kekuasaan yang dipegang
oleh kelompok sosial atau kekuasaan di antara kelompok-kelompok. Makna dan
kekuasaan berkaitan erat. Makna tidak dapat dikonseptualisasikan di luar bidang
permainan dari hubungan kekuasaan. Dalam tradisi Marxis, kekuasaan adalah
sesuatu yang diinginkan oleh kelompok subordinat tetapi tidak dapat dicapai.
Sering kali terjadi pergulatan untuk kekuasaan dan pemenangnya biasanya adalah
orang yang berada di puncak hirarki sosial. Dalam budaya kita sehari-hari,
cantik yang seperti apakah yang sebenarnya? Kecantikan sering kali
didefinisikan sebagai langsing, putih, rambut panjang terurai dan penampilan
menarik, siapa pun yang tidak sesuai dengan ciri ini dianggap tidak menarik.
Mereka yang putih dan langsing—berada di puncak hirarki sosial—mampu
menjalankan lebih banyak kekuasaan dibandingkan yang berada di bawah hirarki
(mereka yang tidak menarik).
Mungkin sumber kekuatan
yang paling mendasar di dalam membentuk cara pandang itu semua dalam masyarakat
kita adalah media. Media telah menjadi terlalu kuat dan berkuasa. Tidak ada
institusi yang memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang didengar oleh
publik kecuali media. Jika media menganggap suatu peristiwa memiliki nilai
penting, maka peristiwa tersebut menjadi penting. Suatu peristiwa yang
sebenarnya tidak penting, maka ia menjadi tidak penting. Media kita banyak
menyajikan informasi gosip dalam bentuk infotainment, isi memang tidak penting
tetapi ia banyak menghasilkan uang karena pemirsanya yang banyak.
Hegemoni merupakan
konsep penting dalam kajian budaya. Secara umum hegemoni didefinisikan sebagai
pengaruh, kekuasaan, atau dominasi dari sebuah kelompok sosial terhadap
yang lain. Ide ini adalah ide yang kompleks dan dapat dilacak pada karya
Antonio Gramsci. Pemikiran Gramsci mengenai hegemoni didasarkan pada ide Marx
mengenai kesadaran palsu, suatu keadaan di mana individu-individu menjadi tidak
sadar mengenai dominasi yang terjadi di dalam kehidupan mereka. Gramsci
berpendapat bahwa khalayak dapat dieksploitasi oleh sistem sosial yang juga
mereka dukung. Mulai dari budaya popular—lagu-lagu pop, tarian atau dance,
makanan, dst., hingga agama.
Penerapan pemikiran
Gramsci mengenai hegemoni juga cukup sesuai untuk diaplikasikan pada masyarakat
di masa kini. Di bawah sebuah budaya yang hegemonis, beberapa orang mendapatkan
keuntungan, sementara yang lainnya merugi. Apa yang terjadi di dalam masyarakat
hegemonis adalah orang terpengaruh karena adanya persetujuan, bukan karena
pemaksaan, oleh karena itu, persetujuan merupakan komponen utama dari hegemoni.
Tidak heran bila orang cenderung mendukung dengan patuh ideologi dominan
dari sebuah budaya.
Namun demikian, khalayak
tidaklah selalu tertipu untuk menerima dan mempercayai apa pun yang diberikan
oleh kekuatan yang dominan. Terkadang khalayak juga menggunakan sumber daya dan
strategi yang sama seperti yang digunakan oleh kelompok sosial yang
dominan. Hingga batasan tertentu, individu-individu akan menggunakan
praktik-praktik dominasi hegemonis yang sama menentang dominasi yang ada.
Inilah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni tandingan (counter-hegemony).
Hegemoni tandingan
menjadi bagian penting dalam pemikiran kajian budaya karena hal ini
menunjukkan bahwa khalayak tidak selamanya akan menurut. Dengan kata lain, kita
sebagai khalayak tidak selamanya bodoh dan pasif. Pesan-pesan hegemoni
tandingan, ironisnya, sering muncul juga di dalam program-program televisi yang
sifatnya mengkritisi atau pelencengan makna pesan yang sebenarnya, seperti
program acara televisi ‘Democrazy”, “Senitlan-Sentilun”, dan lainnya .
Tidak ada pesan hegemoni
atau hegemoni tandingan yang dapat muncul tanpa kemampuan kahalayak untuk
menerima pesan dan membandingkannya dengan makna yang telah tersimpan di dalam
benak mereka. Hal ini disebut pengkodean (decoding), konsep terakhir
kajian budaya. Ketika kita menerima pesan dari orang lain, kita mendekodekan
pesan-pesan tersebut berdasarkan persepsi, pemikiran, dan pengalaman masa lalu
kita. Bila publik menerima informasi dalam jumlah yang besar dari kaum elit dan
bahwa orang secara tidak sadar mentaati pesan yang disampaikan oleh
ideologi dominan. Publik harus dilihat sebagai bagian dari konteks budaya
yang lebih besar, konteks dimana mereka berjuang menyarakan diri mereka sedang
ditindas. Sebagaimana sudah dijelaskan, relasi sosial hirarkis (antara atasan/elit
dan pekerja/bawahan) yang ada di masyarakat tidaklah merata. Ketidakmerataan
dan ketidaksamaan ini mengakibatkan perbedaan dalam pendekodean terhadap
pesan-pesan dari kelas yang berkuasa. Secara umum media mewakili kelas yang
berkuasa dalam masyarakat.
Dalam hal ini, Hall
(1980) menjelaskan lebih lanjut pendekodean berlangsung di dalam media. Ia
melihat bahwa seorang khalayak melakukan pendekodean terhadap pesan melalui
tiga sudut pandang atau posisi: dominan-hegemonis, ternegosiasi, dan oposisi.
Individu-individu
bekerja di dalam sebuah kode yang mendominasi dan menjalankan kekuasaan yang
lebih besar daripada yang lainnya disebut posisi dominan-hegemonis. Kode
professional untuk seorang penyiar televisi, misalnya, akan selalu bekerja di
dalam hegemoni kode yang lebih dominan. Dalam hal ini media berusaha meyakinkan
bahwa kode professional mereka ditempatkan di dalam kode budaya dominan
mengenai makna yang lebih luas. Pada kode ini khalayak cenderung menerima pesan
secara pasif, menerima apa adanya.
Posisi kedua adalah
posisi ternegosiasi; anggota khalayak dapat menerima ideologi dominan
tetapi akan bekerja dengan beberapa pengecualian terhadap aturan budaya. Dalam
hal ini, anggota khalayak selalu memiliki hak untuk menerapkan kondisi lokal
kepada peristiwa sekala besar. Dalam posisi ini, khalayak memaknai pesan dengan
menegosiasikan pada konteks-konteks tertentu, apakah menerima atau menolak
pesannya.
Cara terakhir yang
digunakan khalayak untuk melakukan pendekodean terhadap pesan adalah dengan
telibat di dalam posisi oposisional. Posisi oposisional terjadi ketika anggota
khalayak mensubstitusikan kode alternatif bagi kode yang disediakan oleh media.
Oleh karena itu, pada kasus ini konsumen yang kritis akan menolak makna
sebuah pesan yang dipilih dan ditentukan oleh media dan menggantikannya dengan
pemikirannya sendiri mengenai subjek tertentu.
Media seringkali
membingkai pesan-pesan dengan maksud tersembunyi untuk mempengaruhi. Anggota
khalayak memiliki kapasitas untuk menghindari tertelan oleh ideologi yang
lebih dominan. Namun demikian, pesan-pesan media yang diterima oleh khalayak
sering kali merupakan bagian dari kampanye yang lebih tidak kentara. Para
teoritikus dalam kajian budaya tidak menyatakan bahwa orang sangat mudah
untuk dipengaruhi, melainkan mereka sering kali secara tidak sadar menjadi
bagian dari agenda orang lain.
0 comments:
Post a Comment